Minggu, 13 November 2011

Kopi Aceh








Sejarah Kopi
Biji kopi sebagai bahan baku minuman dengan cita rasa khas dan mempunyai manfaat besar bagi peminum, yang telah dikenal sejak abad-abad sebelum Masehi. Menurut sumber kopi berasal dari jazirah Arab karena besarnya manfaat tanaman ini, maka cepat menyebar ke seluruh dunia, terutama Asia dan Amerika Latin. Sampai saat ini banyak spesies kopi telah ditemukan, tetapi yang diperdagangkan hanya beberapa spesies yang menguntungkan. Sementara spesies lain masih menjadi kekayaan dunia yang menunggu pengembangan.
Keterkaitan dunia Arab dengan kopi juga dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa istilah “kopi” berasal dari bahasa Arab quahweh. Dari dunia Arab, istilah tadi diadopsi oleh negara-negara lainnya melalui perubahan lafal menjadi cafe (Perancis), caffe (Italia), kaffe (Jerman), koffie (Belanda), coffee (Inggris), dan coffea (Latin). Namun diantara pakar masih belum ada persesuaian pendapat tentang daerah asal kopi. Berbagai daerah telah diindentifikasikan sebagai daerah dan habitat asal tanaman kopi oleh berbagai pakar dari berbagai keahlian. Linnaeus seorang Botanikus dalam sebuah tulisannya yang terbit tahun 1753 berpendapat bahwa habitat kopi terletak diantara daerah subur Saudi Arabia yang disebut Arabia Felix, yang kemudian dikenal dengan nama Mekkah. Karenanya dia memberi nama tanaman tadi Coffea Arabica. Akan tetapi di dalam tulisannya kemudian di tahun 1763 dia menyebutkan daerah asal kopi sebagai “Arabia” dan “Ethiopia”, meskipun dia lebih cenderung pada Arabia.
Pendapat lain dari Lankester (1832) mengatakan bahwa Coffea Arabica dibawa dari Persia ke Saudi Arabia. Sedangkan kajian historis yang dilakukan oleh Southard (1918) membawa pada kesimpulan bahwa pada abad XI bangsa Arablah yang membawa biji-bijian kopi dari suatu daerah di Ethiopia yang disebut Harar. Botanikus De Condolle, sebagaimana dilaporkan oleh Fauchere (1927) berpendapat bahwa kopi merupakan tanaman liar yang tumbuh di Abyssiria, Ethiopia, Sudan, Mozambique dan Guinea.
Dari apa yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa nampaknya sebagian besar para ahli mengidentifikasikan Ethiopia sebagai daerah asal Coffea Arabica. Jenis kopi yang kemudian diketemukan di pegunungan Ruwenzeri (Uganda), sekitar 450-600 km di selatan habitat asal Coffea Arabica, ternyata dari spesies yang meskipun dekat, akan tetapi berbeda.
Komoditi kopi telah memainkan peranan penting dalam sejarah perekonomian Indonesia semenjak periode awal penetrasi kapitalisme internasional ke dalam masyarakat pra-kapitalis Indonesia. Semenjak diperkenalkannya kopi jenis Arabica dari Malabar ke Jawa sekitar tahun 1699 oleh kaum kapitalis Belanda, tanaman kopi ini mengalami perkembangan yang amat pesat. Laju perkembangan tanaman kopi ini tidak lepas dari Sistem Tanam Paksa (cultur stelsel) yang diperkenalkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1830, melalui stesel ini rakyat diwajibkan untuk menanam komoditi ekspor milik pemerintah, termasuk kopi pada seperlima luas tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari di perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Kalau diantara tahun 1830-1834 produksi kopi Arabica di Jawa baru mencapai 26.600 ton, maka 30 tahun kemudian produksi kopi tadi meningkat menjadi 79.600 ton.
Kondisi tanah yang subur dan iklim yang cocok di Jawa, serta pengerahan tenaga kerja melalui sistem tanam paksa dan monopoli perdagangan kopi yang dipegang pemerintah, telah memungkinkan eksploitasi dan pentransferan nilai lebih (surplus values) cukup besar ke Negeri Belanda, yang ikut menopang pertumbuhan ekonomi Belanda secara tajam. Pada tahun 1870 Dalam pada itu diundangkannya Agrarische Wet (UU Agraria) memberi peluang bagi kaum kapitalis untuk menyewa tanah dalam jangka panjang telah mendorong tumbuhnya koffie onderneming terutama sekali di Jawa Timur. Hal tersebut mengakibatkan produksi kopi ke titik puncaknya di abad ke XIX yang pada tahun 1880-1884 mencapai 94.400 ton (Creutzberg, 1975). Kopi mempunyai peranan lebih besar dibandingkan dengan gula tebu. Kalau nilai ekspor kopi rata-rata antara tahun 1865-1870 mencapai 25.965.000 gulden, maka dalam periode yang sama nilai ekspor rata-rata gula tebu hanyalah mencapai 8.416.000 gulden (Handelsstatistiek Java 1823-75, 39-41)
Dengan berjangkitnya penyakit tanaman kopi dan teknik budi daya kopi yang tidak memadai, mengakibatkan penurunan produksi kopi secara drastis, tahun 1910-1914 mencapai titik terendah sebesar 35.400 ton. Peristiwa tragis tersebut membuka frontiers baru dalam budi daya tanaman kopi sehingga diperkenalkannya varietas kopi Robusta yang lebih tahan penyakit dan mempunyai produktivitas yang lebih besar. Varietas kopi Robusta ini segera menyebar ke daerah lain, khususnya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung dan Aceh/NAD. Varietas kopi Arabika lebih sulit pembudidayaannya dan dapat menempati lahan-lahan pertanian sempit tumbuh pada ketinggian antara 900 – 1.000 meter di atas permukaan laut, dan merupakan enclave di daerah Aceh (Takengon), Sumatera Utara (Sidikalang, Lintongnihuta, dan Mandailing), Jawa Timur (Besuki), dan Sulawesi Selatan (Toraja). Produksi puncak tanaman kopi dalam era sebelum Perang Dunia II terjadi di antara tahun 1935-1940 sebesar 124.600 ton. Pertumbuhan kopi varietas Robusta ini segera melampaui jenis Arabika sehingga pada saat ini menghasilkan 90 persen dari produksi yang ada.
Masa-masa Perang Dunia II ketika Indonesia diduduki Jepang dan masa pasca Perang Dunia II pada saat Revolusi Kemerdekaan merupakan masa-masa suram bagi produksi kopi. Banyak koffie onderrneming yang hancur akibat dari peperangan serta adanya kecenderungan petani beralih ke tanaman produksi untuk subsistensi sehingga mengakibatkan turunnya produksi kopi secara drastis pada tahun 1950-an hanya mencapai 12-13% dari puncak produksi sebelum perang. Hal ini mengakibatkan hilangnya pasaran kopi Indonesia di pasaran internasional. Sekaligus mempengaruhi moralitas petani, yang mendahulukan keselamatan (safety-first philosophy). Menurunnya harga kopi di pasaran internasional sangat mempengaruhi aktifitas perkebunan kopi seperti menurunnya jumlah kopi yang dipetik dan mengurangi lahan usaha.

Ragam Kopi Aceh
Tanaman kopi di dunia kini ada banyak spesies. Namun yang banyak digunakan untuk minuman berasal dari spesies Arabica dan Robusta. Negeri penghasil kopi Arabica bermutu baik tersebar di lingkar tropis seluruh dunia, yaitu Costa rica, Guetemala, Honduras, Mexico. Nicaragua, Panama, Bolivia, Brasil, Columbia, Equador, Peru, Burundi, Congo, Ethiopia, Kenya, Tanzania, Rwanda, Uganda, Zambia, India, Papua Nugini, Hawaii, Puerto Rico, Jamika, Dominika hingga Saint Helena. Menurut catatan pengamat kopi internasional menyebutkan bahwa Indonesia dalam beberapa lokasi khusus yaitu Jawa, Bali, Sumatra, Aceh (Aceh Tengah dan Bener Meriah) Sulawesi (Toraja) dan Timor. Sedang Robusta sendiri banyak dihasilkan di India dan Uganda. Khususnya kopi Toraja yang diproduksi secara khusus oleh perkebunan di Toraja berada pada grade one, yang terbaik.
Saat ini di Aceh terdapat dua jenis kopi yang dibudidayakan adalah kopi Robusta dan kopi Arabica.Untuk kopi jenis Arabica umumnya dibudidayakan di wilayah dataran tinggi “Tanah Gayo”, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues, sedangkan di Kabupaten Pidie (terutama wilayah Tangse dan Geumpang) dan Aceh Barat lebih dominan dikembangkan oleh masyarakat disini berupa kopi jenis Robusta.
Kopi Arabica agak besar dan berwarna hijau gelap, daunnya berbentuk oval, tinggi pohon mencapai tujuh meter. Namun di perkebunan kopi, tinggi pohon ini dijaga agar berkisar 2-3 meter. Tujuannya agar mudah saat di panen.
Pohon Kopi Arabica mulai memproduksi buah pertamnaya dalam tiga tahun. Lazimnya dahan tumbuh dari batang dengan panjang sekitar 15 cm. Dedaunan yang diatas lebih muda warnanya karena sinar matahari sedangkan dibawahnya lebih gelap. Tiap batang menampung 10-15 rangkaian bunga kecil yang akan menjadi buah kopi. Dari proses inilah kemudian muncul buah kopi disebut cherry, berbentuk oval, dua buah berdampingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar